Sabtu, 23 Mei 2009

Bagaimana mengetahui benih dan makanan hasil rekayasa genetika?

Kebanyakan benih hasil rekayasa genetika tidak berbeda dalam hal warna, bentuk, bau, atau rasanya dibanding benih biasa sehingga kemungkinan benih ini ditanam oleh petani yang tidak tahu. Monsanto, perusahaan yang paling banyak membuat produk-produk RG, menolak memberi label sebagai produk RG sehingga orang yang memakannya tidak akan tahu bahwa itu adalah makanan RG. Satu-satunya cara untuk mengetahui apakah suatu benih dan makanan merupakan hasil RG adalah dengan menguji struktur genetiknya. Alat pengujinya tersedia di Amerika Serikat dan Eropa, tapi harganya mahal.

Kebijakan Pertanian Terhadap Pembangunan Pertanian di Indonesia

A. Arti Penting Pembangunan Pertanian
Sebagaimana telah dipahami bersama oleh berbagai kalangan, pembangunan pertanian memiliki arti yang sangat strategis, tidak hanya bagi negara-negara berkembang bagi negara maju pun pertanian tetap mendapat perhatian dan perlindungan yang sangat serius (kasus EU, Amerika, Australia, Jepang, dll). Membahas pertanian adalah tentang ”kelangsungan hidup”, pertanian adalah penyedia bahan pangan, bahan sandang dan bahkan bahan papan. Selama manusia di dunia masih memerlukan bahan pangan untuk menjamin kelangsungan hidupnya maka pertanian tetap akan memegang perang yang sangat penting. Meskipun dalam kenyataanya, persepsi akan arti penting pertanian kadang-kadang dilupakan oleh banyak orang.
Secara garis besar, pertanian memberikan kontribusi yang penting bagi negara antara lain melalui perananya dalam hal: (1) penyedia bahan pangan, (2) penyedia lapangan kerja, (3) penyedia bahan baku bagi industri, (4) sumber devisa, dan (5) penjaga kelestarian lingkungan (konservasi lahan, mencegah banjir, penyedia udara yang sehat serta amenity).
Peluang pengembangan pertanian serta arti penting pertanian seperti yang dilaporkan oleh Yudohusodo (2006) adalah adanya fakta bahwa Indonesia memiliki potensi produksi pertanian tropis yang sangat besar dan memiliki potensi pasar pangan yang sangat besar pula yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk nasional yang signifikan yaitu 200 juta jiwa di tahun 2000 dan diperkirakan mencapai 400 juta jiwa pada tahun 2040.
Potensi pertanian Indonesia dengan segala keterbatasannya sebenarnya memiliki kedudukan yang cukup baik di kancah internasional. Seperti dilansir ole The Economics dalam The world in figures, Indonesia adalah penghasil biji-bijian nomor 6 di dunia, penghasil beras nomor 3 setelah China dan India, penghasil kopi nomor 4, penghasil coklat nomor 2 setelah Pantai Gading dan Ghana, penghasil lada putih nomor 3, penghasil karet alam nomor 4, penghasil cengkeh nomor 1 serta penghasil sawit nomor 2 (diprediksi 5 tahun ke depan akan menempati nomor 1dengan melampaui Malaysia).

Data statistik juga menujukkan bahwa secara nasional, kita masih mengalami kekurangan produksi pertanian. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, kita masih melakukan impor beberapa komoditas pangan. Hal ini secara rinci dilaporkan dalam Susenas dan berita resmi statistik 2003 seperti dianalis oleh Darmawan dan Masroh (2004) yang melaporkan bahwa selama tahun 2003 kita masih impor beras, gula, kedelai, gandum, jagung, ternak sapi, tepung telur, susu bubuk, makanan olahan, garam, singkong dan kacang tanah.
Kekurangan produksi tersebut, semestinya menjadi peluang karena Indonesia memiliki potensi pertanian tropik yang sangat besar. Semangat dan tekad untuk menjadi bangsa yang mandiri perlu dibangun sehingga solusi untuk menyelesaikan problem tersebut adalah bukan impor namun dapat memacu dan pengoptimalkan produksi. pertanian nasional mestinya bisa memproduksi dengan biaya yang lebih murah, dapat menghemat devisa serta menyediakan lapangan kerja yang sangat banyak. Dalam hal produk pertanian tropik, Indonesia sebenarnya berpotensi tidak hanya swasembada namun juga menjadi eksportir.
Optimisme tentang prospek produksi pertanian ke depan sangat didukung dengan potensi lahan pertanian yang ada. Indonesia masih memiliki potensi lahan pertanian yang cukup besar. Sampai dengan tahun 2001, menurut data BPN seperti yang dilaporkan Syahyuti (2006), total lahan pertanian yang sudah dikelola sebesar 36,3 juta ha dengan proporsi terbesar di Sumatera (15,2 juta ha) dan Jawa (7,7 juta ha). Luas kawasan yang dapat dipergunakan untuk pertanian 123,4 juta ha dengan proporsi terbesar di Kalimantan (38,8 juta
ha), Sumatera (30,4 juta ha) dan Irian Jaya (23,6 juta ha). Areal yang yang masih tersisa yang dapat dipergunakan untuk lahan pertanian adalah 87,1 juta ha dengan proporsi terbesar di Kalimantan (34,2 juta ha), Irian Jaya (20,58 juta ha) dan Sumatera (15,2 juta ha).

B. Memaknai Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian
Menurut Ealau dan Prewitt cit Suharto (1997), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Sedangkan Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Sedangkan Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Analisis kebijakan (policy analysis) dapat dibedakan dengan pembuatan atau pengembangan kebijakan (policy development). Analisis kebijakan tidak mencakup pembuatan proposal perumusan kebijakan yang akan datang. Analisis kebijakan lebih menekankan pada penelaahan kebijkan yang sudah ada. Sementara itu, pengembangan kebijakan lebih difokuskan pada proses pembuatan proposal perumusan kebijakan yang baru. Namun demikian, baik analisis kebijakan maupun pengembangan kebijakan keduanya memfokuskan pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Analisis kebijakan mengkaji kebijakan yang telah berjalan, sedangkan pengembangan kebijakan memberikan petunjuk bagi pembuatan atau perumusan kebijakan yang baru.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan pembangunan pertanian adalah usaha terencana yang berkaitan dengan pemberian penjelasan (explanation) dan preskripsi atau rekomendasi (prescription or recommendation) terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan pembangunan pertanian yang telah diterapkan.
Penelaahan terhadap kebijakan pembangunan pertanian tersebut didasari oleh oleh prinsip-prinsip umum yang dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tindakan sebagai berikut:
1. Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin keilmiahan dari analisis
yang dilakukan.
2. Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai kebijakan
pembangunan pertanian tersebut berdasarkan nilai benar dan salah.
3. Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk menjamin keamanan
dan stabilitas.

Ketiga alternatif tindakan tersebut kemudian diterapkan untuk menguji atau menelaah aspek-aspek kebijakan pembangunan pertanian yang meliputi:
1. Pernyataan masalah pembangunan pertanian yang direspon atau ingin dipecahkan
oleh kebijakan pembangunan pertanian.
2. Pernyataan mengenai cara atau metoda dengan mana kebijakan pembangunan
pertanian tersebut diimplementasikan atau diterapkan.
3. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan atau akibat-akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya suatu kebijakan pembangunan pertanian.
Seperti dirumuskan oleh Suharto (1997), proses perumusan kebijakan termasuk di dalamnya kebijakan pembangunan pertanian dapat dikelompokkan dalam 3 tahap, yaitu: (1) tahap identifikasi, (2) tahap implementasi dan (3) tahap evaluasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa tahapan yang saling terkait.
Dengan mengadopsi dan generalisasi strategi perumusan tersebut, maka secara garis besar tahapan perumusan kebijakan pembangunan pertanian adalah sebagai berikut:
a. Tahap Identifikasi
• Identifikasi masalah dan kebutuhan :
Tahap pertama dalam perumusan kebijakan pembangunan pertanian adalah mengumpul-kan data mengenai permasalahan pembangunan pertanian yang dialami masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi (unmet needs).
• Analisis masalah dan kebutuhan :
Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan ke dalam laporan yang terorganisasi.
Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab masalah dan apa kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul apabila masalah tidak dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana yang terkena masalah?
• Penginformasian rencana kebijakan :
Berdasarkan laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini kemudian disampaikan kepada berbagai sub-sistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu kebijakan pembangunan pertanian untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula diajukan kepada lembaga-lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
• Perumusan tujuan kebijakan :
Setelah mendapat berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan untuk memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian dianalisis kembali dan dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
• Pemilihan model kebijakan :
Pemilihan model kebijakan dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metoda dan strategi yang paling efektif dan efisien mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan model ini juga dimaksudkan untuk memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan pembangunan pertanian yang logis, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.

• Penentuan indikator pembangunan pertanian :
Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat terukur secara objektif, maka perlu dirumuskan indikatorindikator pembangunan pertanian yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai.
• Membangun dukungan dan legitimasi publik :
Tugas pada tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan, melakukan lobi, negosiasi dan koalisi dengan berbagai kelompok-kelompok masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan pembangunan pertanian yang akan diterapkan.
b. Tahap Implementasi
• Perumusan kebijakan :
Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan ke dalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan pelaksanaannya.
• Perancangan dan implementasi program :
Kegiatan utama pada tahap ini adalah mengoperasionalkan kebijakan ke dalam usulan-usulan program (program proposals) atau proyek pembangunan pertanian untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program.
c. Tahap Evaluasi
Dalam tahap ini dilakukan evaluasi terhadap proses implementasi (evaluasi proses) serta dampak yang ditimbulkan, dilakukan pembandingan antara rencana dengan capaian atau hasil yang dicapai (evaluasi dampak).
Terkait dengan analisis kebijakan pembangunan pertanian, proses penyusunan dan pengambilan kebijakan perlu dicermati dengan seksama karena sangat krusial. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang didasarkan pada hasil analisis dan pengetahuan yang sistematis. Hal ini sering dikenal dengan terminology “evidence based policy formulation”. Menurut Anonim (2004), hasil-hasil penelitian sering masih diabaikan, ditafsirkan lain atau kurang dipergunakan untuk “evidence based policy formulation” oleh penentu kebijakan Penelitian bertujuan menghasilkan pengetahuan baru, sedangkan kebijakan bertujuan melakukan atau merubah suatu program/kegiatan berdasarkan pengetahuan baru tersebut. Keduanya sangat berkaitan, sehingga hubungan antara keduanya perlu ditingkatkan.
Sumber dan pembawa informasi sama pentingnya dengan substansi informasi; penentu kebijakan akan lebih menerima substansi informasi bila diberikan oleh mereka yang telah dipercaya. Walaupun demikian, sebagai peneliti kita harus yakin bahwa penelitian yang berkualitas baik, keterlibatan masyarakat setempat, pesan yang akurat dan strategi komunikasi penyebar-luasan hasil penelitian yang efektif juga penting. Adanya gap antara kebutuhan akan data dengan ketersediaan data, juga membatasi penggunaan data tersebut.
Pada dasarnya formulasi kebijakan didasarkan pada berbagai pertimbangan politik, sosial-ekonomi, institusi, lingkungan, sumber daya, tingkat kelayakan, disamping faktorfaktor teknis. Faktor teknis ini terdiri dari kemampuan untuk melaksanakan kebijakan dan tersedianya data dan informasi yang memadai dan sahih.

C. Dimensi Kebijakan Pembangunan Pertanian
Dalam konteks sejarah ekonomi dan pembangunan pertanian di Indonesia, telah terjadi pasang surut kehidupan petani yang menerima dampak kebijakan pada masanya. Secara umum, petani nampaknya selalu berada pada posisi yang lemah dan termarjinalkan oleh berbagai kebijakan yang sering tidak berpihak dan tidak memberikan dampak yang nyata pada perbaikan kualitas hidupnya.
Iskandar (2006), memberikan beberapa indikasi tentang keterpurukan kehidupan petani Indonesia sepanjang masa. Pada masa pra-kolonial, di Pulau Jawa struktur penguasaan lahan sangat timpang dimana raja sebagai pemilik mutlak atas tanah. Petani umumnya sebagai pekerja pertanian yang menggantungkan hidupnya pada para bangsawan lokal. Pada masa kolonial Belanda, petani dipaksa untuk mengikuti tanam paksa dan mengalami tragedi kelaparan pada tahun 1940-an. Pada masa pasca-kolonial, ketimpangan penguasaan tanah juga tetap mencolok. Hasil Sensus Pertanian 1971 menunjukkan 41% rumah tangga kelas atas memiliki lahan rata-rata 1,16 ha dan sebaliknya rumah tangga lapisan bawah (59%) hanya memiliki rata-rata penguasaan tanah 0,25 ha. Program revolusi hijau tahun 1970-1980 berhasil meningkatkan produksi secara signifikan dan berhasil mencapai swasembada beras tahun 1984, namun karena adanya ketimpangan akses terhadap lahan dan sifat yang sentralistik serta usaha tani yang mengandalkan asupan input luar akhirnya Indonesia kembali menjadi importir beras. Secara umum pembangunan Pertanian lebih banyak dinikmati lapisan atas dan kurang dinikmati petani gurem yang merupakan bagian terbesar dari jumlah petani. Disamping itu nasib ekonomi petani Indonesia kian terpuruk karena tidak mendapat perlindungan pemerintah. Hal ini sangat berbeda dengan yang dialami para petani di Amerika, EU, Australia dan Jepang.
Dengan melihat potensi sumberdaya yang dimiliki Indonesia, Stighlitz (2004) memberikan beberapa saran yang perlu diperhatikan ketika akan menyusun dan merumuskan kebijakan pembangunan pertanian. Saran-saran tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:
• Usaha pengembangan ekonomi lebih difokuskan pada sektor yang menghidupi mayoritas penduduk yaitu penduduk di pedesaan yang berprofesi sebagai petani
• Program industrialisasi mestinya difokuskan pada aktivitas yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan mayoritas
• Pendidikan menjadi pra-syarat utama pembangunan dan ini harus dapat dijangkau oleh golongan mayoritas
• Dalam pembangunan Pertanian, prioritas bukan sekedar memproduksi komoditi, tapi penciptaan nilai tambah (value added)
• Industrialisasi harus terkait dengan kepentingan petani
• Sebagian besar hasil pertanian terutama perkebunan masih diolah di luar Indonesia, misalnya karet, crude plam oil/CPO, kakao, dll. Hal ini sebenarnya sangat mendukung industrialiasi, oleh karena itu sebaiknya produk bukan dijual sebagai. barang mentah.
• Terkait dengan efisiensi, program swastanisasi/privatisasi perlu persiapan, karena liberalisasi yang terburu-buru akan sangat berbahaya
• Peran dan intervensi pemerintah untuk memberi prioritas pada ”mayoritas” tetap diperlukan, bukan sepenuhnya diserahkan pada “market mechanism” (invisible hand)
• Perlu keseimbangan antara kepentingan pasar dan capur tangan dan atau peran pemerintah

Subejo (2006) mengajukan hipotesis bahwa suatu kebijakan pembangunan pertanian yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu ecological security, livelihood security dan food security. Suatu sustainable agriculture adalah suatu sistim pertanian yang mendasarkan dirinya pada pemanfaatan sumber daya alam (lahan, air dan kenearagaman hayati lainnya) secara lestari. Keanekaragaman hayati merupakan kekuatan petani dalam upaya melestarikan ketahanan pangan. Keanekaragaman hayati dapat menjadi sumber alternatif dalam penganekaragaman jenis-jenis tanaman budidaya.
Praktek-praktek pertanian yang demikian akan berubah pada era globalisasi, dengan munculnya berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh badan-badan internsional, misalnya World Trade Orgazation (WTO) yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan praktek pertanian di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kebijaksanaan tentang Trade Related
Intelllectual Property Rigts (TRIPs) dan berbagai keputusan lain yang menyangkut pertanian, akan mengubah ketiga aspek dasar kebijakan ketahanan ekologis suatu sistim pertanian, karena keputusan seperti itu akan mendorong terciptanya konsentrasi pemilikan sumberdaya alam, dengan cara menghilangkan batasan kepemilikan terhadap sumber alam tersebut (tanah, air dan keanekaragaman hayati).
Dalam rangka menggalakan ekspor dari sektor pertanian, umumnya pemerintah negara berkembang akan menggalakan pembangunan perkebunan besar. Kehadiran perkebunan tersebut akan mengubah ketiga aspek kebijaksanaan pertanian yang sehat. Perkebunan besar akan menguasai lahan pertanian yang sangat luas yang hanya ditanami satu jenis tanaman, sehingga melemahkan ketahanan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Selain menutup kemungkinan bagi petani untuk diversifikasi usatanai mereka, lemahnya ketahanan hayati juga menyebabkan pertanian di wilayah itu mudah terserang hama dan penyakit. Keberadaan perkebunan besar juga akan menghambat terpenuhinya kebutuhan dasar bagi penduduk setempat, demi ekspor dan keuntungan bagi petani bagi pemilik perkebunan.
Nampaknya liberalisasi pardagangan produk-produk pertanian tidak menjadikan pertanian menjadi bebas. Sebaliknya liberalisasi perdagangan justru memperkuat sentralisme pembangunan pertanian. Dalam era globalisasi perdagangan bebas, ketika negara tidak lagi mencampuri urusan pengembangan sektor pertanian, negara tidak mengembalikan kekuasaan dan fungsi petani untuk mengatur usaha tani mereka, tetapi justu memfasilitasi penyerahan penguasaan sumber-sumber alam, sistim produksi, serta sistim pemasaran dan perdagangan kepada perusahaan agribisnis global atau multinational coporations.
Terkait dengan aspek perdagangan internasional, menurut Yustika (Suara Pembaharuan,12 Oktober 2003), pemerintah justru banyak meliberalisasi pasar produk pertanian padahal aturan WTO masih memberi kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar domestik. Lebih lanjut Yustika mengemukakan bahwa untuk subsidi pertanian, telah lama subsidi input dikurangi dengan sangat drastis oleh pemerintah padahal negara-negara maju masih memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap tahunnya kepada sektor pertanian (The New York Times, 2 Desember 2002). Berita mutakhir mengabarkan bahwa Koferensi Tingkat menteri V WTO di Meksiko dan konferensi ke VI di Doha-Qatar gagal menghasilkan suatu konsensus apapun mengenai pengurangan hambatan dalam perdagangan produk-produk pertanian. Hal ini terjadi karena negara-negara maju, seperti AS, Uni Eropa dan Jepang menolak untuk memangkas secara drastis subsidi ekspor dan subsidi jenis lain yang selama ini diberikan kepada petani
Selain ketidak fair-an dalam hal subsidi input dan subsidi ekspor, hal lain yang sangat terasa pada lemahnya perlindungan petani kita adalah rendahnya penerapan tarif produk pertanian impor. Heri Soba (Suara Pembaharuan Daily, 8 September, 2003) menyatakan bahwa proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian di negara-negara maju ditunjukan dengan perlindungan produk dalam negeri melalui penerapan tarif impor yang tinggi. Bahkan di sejumlah negara eksportir beras, gula, dan produk pertanian lainnya tarif impor nya sangat tinggi. Terkait tarrif impor gula, Uni Eropa menerapkan 297 persen, Jepang 361 persen, sedangkan Indonesia hanya 30 persen (gula putih 700 per kg dan gula mentah 550 per kg). Hal lain yang dipandang juga memberatkan petani produsen adalah adanya pajak ekspor (PPN 10%) untuk beberapa komoditas pertanian misalnya CPO, kakao dan kopi, hal ini tidak memberi insentif bagi produsen untuk mengoptimalkan produksinya.

D. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian
Dalam perubahan-perubahan yang terjadi dalam sektor pertanian negara-negara yang sedang berkembang, baik pada lingkungan internal maupun eksternal, terdapat tiga masalah pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan paradigma baru pembangunan pertanian.
Pertama, di tengah-tengah perubahan-perubahan eksternal dan internal tersebut, bagaimana kita dapat menciptakan kebijaksanaan pertanian yang menjamin agar petani dapat memperoleh hak atas air dan bibit, yang mereka butuhkan untuk mengelola usahatani secara lestari. Air merupakan sarana produksi yang utama bagi petani untuk membangun usahataninya. Pada saat ini bukan lagi hanya terkait dengan kebutuhan pertanian, tetapi telah menjadi kebutuhan atau milik sektor perekonomian yang ada di negara kita. Bertambahnya peminat yang ingin memanfaatkan air mendorong terjadinya persaingan. Umumnya sektor pertanian menjadi sektor yang relatif lemah dalam kancah persaingan tersebut, birokrasi umumnya melihat industri lebih maju dari agraris sehingga sektor industri mendapat prioritas
yang lebih untuk mendapatkan hak atas air (Subejo, 2006).
Akses terhadap air merupakah isu penting yang terus menjadi bahan perdebatan baik skala nasional maupun internasional. Salah satu isu yang relatif baru terkait dengan air adalah ”water privatization”. Dalam 3rd World Water Forum di Kyoto tahun 2003 serta kegiatan yang sama tahun 2004 di Mexico City, debat tentang privatisasi air nampaknya semakin rumit. Inti dari perdebatan adalah hak asazi manusia akan air atau lebih dikenal dengan the human right to water (HRTW).
Menurut analisis Widianarko dalam The Jakarta Post (2006), ketika membahas tentang arti penting air, suatu pemahaman inti yang sangat penting adalah bahwa air tidak hanya sekedar kebutuhan dasar manusia. Air adalah sesuatu yang sangat vital, unsur yang tidak dapat tergantikan untuk memastikan akan keberlangsungan setiap kehidupan umat termasuk manusia. Air secara intrinsik terkait dengan hak dasar manusia seperti hak untuk hidup, hak akan pangan dan hak untuk sehat.
Dalam General Comment on the Right to Water tahun 2002 yang dicetuskan oleh UN Comittee on Economic, Social and Cultural Right dinyatakan bahwa hak asazi mausia akan air semestinya memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengakses air dengan cukup, aman, dapat diterima serta secara fisik dapat diakses dan air murah (affordable) untuk
kebutuhan individu adan keburuhan domestik.
Mensikapi akan HRTW, muncul dua kubu yang berseberangan. Kelompok pertama berargumentasi bahwa untuk mejamin hak atas air adalah merupakan tanggungjawab penuh dari negara yang mestinya dapat diimpementasikan sepenuhnya oleh perusahaan layanan publik. Argumentasi dari kelompok masyarakat tersebut karena air adalah ”human right”, mestinya tidak seorangpun mendapat keuntungan darinya, jika hal ini terjadi akan mengurangi nilai air dari unsur esensial dalam kehidupan menjadi sekedar sebuah komoditas. Air mestinya dipandang sebagai public goods, mestinya disediakan subsidi yang cukup bagi pengguna dalam menanggung biaya penyediaannya. Keberatan akan ide privatisasi air lainnya adalah jika air disediakan dengan tujuan profit maka kemungkinan akan terjadi monopoli karena tidak ada alternatif lain untuk air.
Sementara pada sisi yang lain, kelompok kedua mengklaim bahwa didalam upaya untuk menjamin hak akan air, otoritas pemerintah dapat memilih opsi pengelolaan yang paling tepat, ini dapat berupa publik, semi-swasta atau swasta. Karena pengelolaan membutuhkan biaya dan ivestasi yang besar maka layak kalau penyedia memeproleh sebagian profit darinya.
Terkait dengan pemanfaatan sumberdaya air di Indonesia, meskipun UU Sumber daya Air (UU No.7/2004) masih terus dalam taraf perdebatan (saat ini masih dibahas di Komisi Yudisial), namun nampaknya kepentingan petani akan air terasa terus tersisihkan dengan kepentingan pihak lain utamanya kalangan industri. Fauzi (Kompas 15 Maret 2004) menyatakan bahwa air merupakan barang ultra-esensial bagi kelangsungan hidup manusia bahkan para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad ke-21 ini. Bocoran laporan dari Pentagon yang dikutip The Observer menyebutkan bahwa akan terjadi cathastropic shortage (kekurangan yang dahsyat) terhadap air di masa mendatang yang akan mengarah pada menyebarnya perang sekitar tahun 2020.
Terkait dengan akses terhadap bibit, seperti halnya air, bibit merupakan salah satu sarana produksi utama dalam produksi pertanian. Petani semestinya memperoleh akses bibit yang murah, hal ini dapat dicapai bila pemerintah memberikan kembali hak kepada petani untuk memproduksi bibit bagi kepentingan komunitas pertanian mereka. Departemen Pertanian hendaknya melakukan penelitian bersama petani di lapangan atau di lahan petani dan dapat difokuskan dalam program penangkaran benih desa yang dapat mendukung otonomi petani dalam menyediakan bibit (seperti kasus petani veteran di pedesaan Jepang). Kebijakan impor benih seperti diindikasikan dalam kasus benih hibrida padi dan jagung pada tahun ini merupakan contoh kebijakan pertanian yang nampaknya kurang berpihak pada kepentingan petani dalam jangka panjang.
Kedua, masalah pertanian tersebut berkaitan dengan masalah kedua, yakni bagaimana membangun suatu pertanian yang dapat menjamin adanya suatu sistim ketahanan pangan bagi negara-negara yang sedang berkembang.
Ketiga, bagaimana kita dapat melindungi dan memanfaatkan kekayaan alam yang berupa plasma nuftah yang dimiliki oleh negara-negara sedang berkembang, tidak hanya untuk kepentingan pembangunan sektor pertanian, tetapi juga sektor-sektor yang lain dalam perekonomian nasional negara-negara tersebut, demi kesejahteraan rakyat.
Ketiga masalah tersebut merupakan hal yang saling berkaitan, yang pemecahannya akan menjamin munculnya sebuah sistim pertanian baru yang perkebangannya tidak tergantung pada teknologi yang berasal dari luar dan menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan para petani.
Paradigma pembangunan pertanian baru yang dapat mencapai tujuan tersebut adalah paradigma pembangunan pertanian yang melihat bahwa pembangunan suatu negara adalah pembangunan yang mencerminkan kesejahteraan dari mayoritas penduduk negara itu. Mayoritas penduduk negara-negara sedang berkembang adalah petani. Paradigma pembangunan pertanian baru harus bertujuan untuk lebih menjamin keamanan pangan secara mandiri dan berkelanjutan.
Agar paradigma baru tersebut dapat mencapai tujuannya, dibutuhkan perubahan visi dan kebijaksanaan dari pemerintah dan aparat pelaksanan dalam memahami proses-proses yang hakiki dari suatu pembangunan pertanian. Menurut Samsul Bahari (Kompas, 15 Maret 2004), persoalan pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan produksi tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang menjadi pra-syarat melaksanakan pembangunan pertanian: (1) akses terhadap kepemilikan tanah, (2) akses input dan proses produksi, (3) akses terhadap informasi dan pasar dan (5) akses terhadap kebebasan.
Dari ke-empat pra-syarat tersebut, nampaknya yang belum dilaksanakan secara konsisten adalah membuka akses petani dalam kepemilikan tanah dan membuka ruang kebebasan untuk berorganisasi dan menentukan pilihan sendiri dalam berproduksi. Pemerintah hingga kini selalu menghindari kedua hal itu karena dianggap mempunyai resiko tinggi. Kebijakan pemerintah lebih banyak difokuskan pada produksi dan pasar.
Bahari lebih lanjut menjelaskan bahwa Orde Baru sejak kelahirannya yang menganut ideologi “ekonomi kapitalis” cenderung melaksanakan pembangunan pertanian melalui pendekatan jalan pintas (by pass approach), yaitu “revolusi hijau” tanpa “reformasi agrarian/pembaruan agraria”. Karena itu, pembangunan tersebut lebih dikenal sebagai “development without social transition”. Pertanian nampaknya tidak dipandang dalam aspek menyeluruh, tetapi direduksi sekedar persoalan produksi, teknologi dan harga. Tanah sebagai alas pembangunan pertanian tidak dianggap sebagai faktor amat penting.
Kebijakan politik ekonomi Orde Baru menggunakan surplus pertanian guna mensubsidi sektor industri lewat politik pangan murah untuk menjaga stabilitas upah buruh demi mepercepat proses industrialisasi. Namun ketika industri telah maju dan menghasilkan surplus, keuntungan tidak dikembalikan ke sektor pertanian namun manfaat justru lebih banyak dinikmati sektor industri.
Padahal, apabila kita bercermin pada kisah sukses pembangunan pertanian Jepang, Thailand, Korea Selatan, Taiwan, China dan Vietnam, semuanya tidak terlepas dan diawali dengan perombakan dan penataan kembali struktur panguasaan tanah yang timpang menuju suatu sistem yang lebih merata/equal melalui program reformasi agraria. Sektor pertanian mendapat manfaat dari surplus yang diinvestasikan kepada sektor industri. Reformasi agraria sendiri mencakup redistribusi tanah kepada petani gurem dan buruh tani, penataan produksi melalui pembangunan infra struktur pertanian, fasilitas permodalan dan teknologi tepat guna, penguatan kelembagaan/organisasi petani dalam bentuk koperasi atau asosiasi petani, dan
proteksi terhadap produk-produk pertanian.
Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :
1. Pelita I
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
2. Pelita II
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Sasaran utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
3. Pelita III
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 hingga 31 Maret 1984. Pelita III pembangunan masih berdasarkan pada Trilogi Pembangunan dengan penekanan lebih menonjol pada segi pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
a. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan, dan perumahan.
b. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan.
c. Pemerataan pembagian pendapatan
d. Pemerataan kesempatan kerja
e. Pemerataan kesempatan berusaha
f. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
g. Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah tanah air
h. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
4. Pelita IV
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1984 hingga 31 Maret 1989. Titik beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.

5. Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6. Pelita VI
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1994 hingga 31 Maret 1999. Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Yudohusodo (2004), menyarankan bahwa dalam perumusan kebijakan pembangunan pertanian ke depan perlu dirumuskan kebijakan ”modernisai pertanian”, dimana kebijakan tersebut secara operasional perlu didukung beberapa prasyarat mendasar yaitu: (1) Pemberian kepada setiap keluarga petani luasan lahan yang memenuhi skala ekonomi (mikro) untuk menjadi sejahtera (note: bandingkan dengan kasus Jepang, untuk hidup layak petani minimal perlu mengelola lahan 3 ha), (2) Mekanisasi dalam rangka optimalisasi tenaga kerja, (3) Pembangunan pertanian dilakukan secara agribisnis untuk menjadikan para petani berpikir dan bekerja secara ekonomis agar dapat meningkatkan kesejahteraannya, (4) Meningkatkan keseimbangan antara kesempatan kerja pertanian dan kesempatan kerja di luar pertanian di desa-desa melalui pembangunan agro-industri agar ketahanan ekonomi rakyat meningkat, dan (5) Membangun desa-desa menjadi pusat-pusat kegiatan ekonomi.
Kabinet Indonesia Bersatu (SBY-JK) sebenarnya telah menetapkan revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan yang sejalan dengan upaya pengentasan kemiskinan sebagai salah satu dari tiga jalur stategi (triple-track strategies) yang berazas pro-growth, proemployment dan pro-poor. Secara garis besar menurut Arifin (2005), dalam revitalisasi pertanian terdapat 5 program yang akan dilaksanakan dalam periode 2005-2009 yaitu (1) peningkatan ketahanan pangan, (2) pengembangan agribisnis, (3) peningkatan kesejahteraan petani, (4) pengembangan sumber daya perikanan, dan (5) pemantapan pemanfaatan potensi sumber daya perikanan.
Terkait dengan strategi revitalisasi pertanian tersebut, Arifin (2005) menyatakan bahwa hasil besar yang berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mampu diperoleh apabila strategi tersebut mampu diterjemahkan menjadi langkah kebijakan konkrit serta dapat dilaksanakan secara konsisten di lapangan. Tetapi strategi tersebut hanya akan menjadi retorika belaka jika hanya menjadi jargon-jargon kebijakan dan tidak mampu dilaksanakan secara nyata di lapangan dan apabila stimulus ekonomi yang dicanangkan pada tahun pertama dan sepanjang lima tahun kabinet tidak membawa dampak langsung pada ekonomi petani dan perekonomian pedesaan pada umumnya.


Pandangan Petani Terhadap Kebijakan Pertanian Pemerintah Di Tahun 2008
A. Pembaruan Agraria Janji Yang Tidak Direalisasikan
Sejak tahun 2006 petani dan rakyat miskin di Indonesia dijanjikan suatu program landreform melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang sudah disebut-sebut SBY-JK dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2004. Bahkan dalam pidato awal tahunnya, pada tanggal 31 Januari 2007, Presiden mengumumkan jumlah lahan-lahan pertanian yang akan didistribusikan seluas 9,25 juta hektar.
Pada bulan Mei 2007 pemerintah mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang PPAN. Dari draft tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum PPAN hanya berbicara masalah pembagian tanah saja, dan bukan pelaksanaan pembaruan agraria secara hakiki. RPP tersebut juga menunjukkanbekas HGU, bekas kawasan pertambangan dan kawasan hutan. Peta lokasi objek tanah yang akan dibagikan dan waktu pelaksanaan PPAN tidak dijelaskan secara gamblang.
Seiring dengan plin-plannya PPAN, konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian terus semakin menggila. Tercatat konversi lahan sawah sedikitnya 10 ribu hektar per tahun. Kepemilikan lahan oleh petani semakin gurem, yakni tinggal 0.3 hektar di Pulau Jawa dan 1.19 hektar di luar Jawa1. Bahkan akibat konversi lahan ini, di Kalimantan Timur semakin banyak petani tanpa tanah. Setidaknya 5.000 ha lahan pertanian menjadi lahan pertambangan batu bara yang tersebar di 12 kabupaten. Belum lagi konflik agraria yang terus terjadi. Setidaknya enam orang petani tewas akibat konflik sepanjang tahun 2008 (lihat dibagian hak asasi petani dalam dokumen ini).
Dalam keadaan seperti itu PPAN malah menjelma menjadi sekadar program sertipikasi lahan-lahan pertanian. Lagi-lagi pembaruan agraria direduksi menjadi persoalan administrasi pertanahan belaka. Seperti halnya Program Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Lahan (Larasita).
Menurut catatan SPI kemauan politik ini sejak awal sudah terasa janggal dan kini mulai terbuka tanda-tanda kebohongannya. Karena sejatinya pembaruan agraria ditujukan untuk mengurangi bahkan meniadakan ketidakadilan struktur agraria. Namun dengan percepatan sertipikasi justru di khawatirkan akan memperkuat struktur ketidakadilan itu dan mempercepat mekanisme penciptaan pasar tanah. Kondisi ini sesuai dengan keinginan Bank Dunia yang mengusung landreform berdasarkan konsep pasar tanah (land market). Dalam konsep Bank Dunia, siapa yang mampu membeli tanah dia yang mendapatkannya.
Tujuan dari landreform yang sesungguhnya untuk menumbuhkan keadilan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah masih jauh dari harapan. Padahal konstitusi kita mengamanatkan bahwa penerima redistribusi tanah dalam landreform adalah petani miskin, penggarap, buruh tani dan subyek lainnya sesuai Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria atau lebih dikenal dengan UUPA 1960. Bukan untuk kepetingan investor seperti yang diinginkan Bank Dunia dan diakomodasi oleh pemerintah SBY-JK.
Jadi sesuatu yang mengherankan bila pada bulan Maret 2007 pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang isinya adalah meluaskan kekuasaan modal pada penguasaan dan kepemilikan agraria. Undang-undang ini sangat kental dan sarat dengan ideologi pasar, serta dengan gampangnya menggantungkan nasib bangsa terutama dengan tanah petani di pedesaan, kawasan hutan dan tanah ulayat.
Lebih lanjut, substansi di dalam undang-undang ini akhirnya digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh SPI bersama gerakan rakyat lainnya yang tergabung dalam GERAK LAWAN. Akhirnya judicial review tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada bulan Maret 2008. Intinya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 20 (tentang Hak Guna Usaha yang dapat diperpanjang sekaligus dimuka menjadi 95 tahun) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Jadi apa yang disampaikan oleh kepala BPN dan Presiden SBY Dalam pidatonya pada peluncuran Larasita 16 Desember 2008 lalu, mengenai prioritas kerja BPN kedepan (yakni pembaruan Agraria, Penyelesaian Konflik Agraria, Penyelesaian persoalan tanah terlantar distribusinya kepada rakyat dan percepatan sertifikasi pertanahan) merupakan janji yang diulangi lagi.
Terlalu berat rasanya pembaruan agraria secara sungguh-sungguh menjadi program utama yang akan terlaksana mengingat kekuasaan pemerintah akan segera berakhir dalam hitungan bulan saja.

B. Benih Sumber Kehidupan Yang Terabaikan
Kondisi perbenihan di Indonesia hingga tahun 2008 yang telah lewat tidak banyak berubah, benih yang merupakan salah satu input dasar produksi pertanian kerap kesulitan ketersediaannya. Pemerintah tidak memberikan dukungan sepenuhnya kepada rakyat, dalam hal ini petani untuk memproduksi benih nya sendiri.
Dukungan Bantuan dan Subsidi Benih 2008
NO Uraian Biaya (Rp/Miliar)
1 Dana tugas pembantuan kabupaten/kota 394,500
2 Dana PSO/Subsidi 951,081
a. Subsidi benih 112,512
b. Cadangan benih nasional 184,820
c. Bantuan langsung benih unggul
• APBN 364,815
• APBN P 289,933
Jumlah 1,345,581

Dari sisi anggaran dukungan pemerintah terhadap penyediaan benih bersubsidi bagi petani bisa dikatakan terabaikan. Direktur Sarana Produksi Tanaman Pangan Spudnik Sujono mengatakan bahwa penyediaan benih memang relative “terabaikan” dibandingkan pupuk misalnya karena petani dianggap memiliki kemampuan untuk menyediakan benih sendiri. Alasan itu pula lah yang menyebabkan besarnya anggaran untuk subsidi benih terbilang yang paling kecil, yaitu hanya 0,03 persen dari PDB, sepuluh kali lebih kecil dari subsidi pupuk. Dan jumlah ini akan kembali turun pada tahun 2009.
Karena itu kreativitas petani untuk memproduksi benih tidak mendapat perhatian serius. Petani kecil diposisikan sebagai konsumen benih yang tidak mempunyai daya tawar dihadapan perusahaan-perusahaan benih raksasa semenjak dikeluarkannya UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU No.29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanamasebagai perpanjangan tangan dari perjanjian IPRs (hak atas kekayaan intelektual)bagian dari paket kebijakan WTO5.
Kebijakan tersebut telah menyebabkan situasi perbenihan di Indonesia sudah menjurus pada krisis benih dan ketergantungan petani terhadap benih yang diproduksi perusahaan agribisnis multinasional, Sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikuasai dan didistribusikan oleh perusahaan multinasional. Sebagai contoh, untuk jagung, 43 persen benih hibrida dipasok oleh perusahaan besar seperti Syngenta dan Bayer Corp. Kondisi ini menyebabkan petani menanggung beban ongkos peroduksi yang semakin mahal dan makin sulit untuk memproduksi, mengembangkan dan melestarikan benih. Mode produksi yang terjadi saat ini sangat membebani petani, terutama karena petani harus terus membeli (menjadi end-user). Benih, harus beli bibit unggul. Pupuk, harus beli urea, atau produk pabrik yang lain. Racun (herbisida, pestisida) juga harus beli lagi. Akibatnya, petani menjadi tergantung—dan alih-alih dapat untung, malah jadi rugi.
Keterpurukan perbenihan ini terlihat juga pada kasus benih Supertoy-HL2 yang gagal menyebabkan petani mengalami kerugian. Ketika pengusaha atau perusahaan memproduksi benih yang telah merugikan masyarakat itu terbukti bersalah, ia hanya mendapatkan hukuman memberikan ganti rugi kepada petani. Sementara ketika petani mengembangkan benihnya sendiri seperti yang terjadi tahun 2005 lalu di Kediri dan Nganjuk mereka harus mendekam di penjara dan di larang memproduksi benih lagi.
Selain itu, masih banyak benih bersubsidi yang kerap diselewengkan penyalurannya seperti yang dialami anggota SPI di Jawa Timur. Misalnya ketika ternyata benih bersusbsidi yang seharusnya mereka terima harus ditebus dengan harga lebih mahal dari harga normal yang harus mereka dapatkan dari Petugas Pertanian Lapangan (PPL) setempat.

C. Pupuk Hilang Ketika Musim Tanam Datang
Persoalan pupuk di Indonesia berubah pasca penandatanganan Letter of Intent (LoI) dengan IMF saat Indonesia digiring masuk ke era pasar bebas. Pemerintah terikat (legaly binding) untuk menjalankan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Perjanjian Pertanian (AoA) - WTO yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU no.7/1994.
Subsidi pupuk dicabut pada tanggal 2 Desember 1998, diikuti dengan liberalisasi ekonomi pupuk yang sebelumnya dimonopoli Pusri. Pada tahun 2002 diberlakukan kembali subsidi pupuk dan benih, namun jika kita coba melihat besaran subsidi tahun 2003-2006 subsidi pupuk hanya 0.06, 0.04, 0.07 dan 0.07 persen dari PDB. Subsidi pupuk tahun 2008 dinaikkan 2 kali lipat menjadi Rp 15, 175 triliun dari subsidi tahun 2007 sebesar Rp 7,8 triliun. Untuk anggaran APBN 2009 anggaran untuk pupuk di tingkat produsen naik menjadi Rp16, 458 triliun. Jumlah ini menjadi 0,3 persen dari PDB. Kenaikan proporsi subsidi ini sesungguhnya tidak mengubah volume pupuk yang disubsidi yaitu sebesar 7,2 juta ton (tahun 2007-2008), karena sesunguhnya jumlah itu digunakan untuk mensubsidi harga gas yang menjadi bahan baku pupuk yang mengalami kenaikan harga. Harga bahan baku non gas sudah meningkat 100 – 500 persen, harga gas sendiri mengalami naik dari 5,5 dolar AS/juta million-million british thermal unit (MMBTU) menjadi 10,5 dollar AS/MMBTU.
Arah kebijakan yang bimbang disektor perpupukan antara subsidi langsung untuk petani atau perusahaan, berkembang menjadi sistem voucher yang kemudian mandeg dan berakhir dengan sistem tertutup melalui mekanisme Rencana Definitif Kelompok Kerja (RDKK). Hal ini sesuai ketetapan Peraturan Menteri Pertanian No. 42/2008 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) serta SK Menteri Perdagangan No. 21/2008. Mekanisme RDKK membatasi subsidi pupuk hanya bagi kelompok-kelompok tani bentukan Departemen Pertanian sedangkan kelompok-kelompok tani lain dan juga petani yang belum berkelompok kesulitan mengakses pupuk.
Hingga kini lemahnya lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang berperan mengawasi distribusi pupuk hingga ke petani. Hal ini mempengaruhi tidak maksimalnya sistem distribusi pupuk. Itulah sebabnya selalu terulang, pupuk menghilang di pasaran ketika petani bersiap-siap memulai musim tanam.
Petani di berbagai wilayah berusaha untuk mendapatkan pupuk. Salah satu contoh yang dialami petani SPI di Jawa Timur, sejak Oktober 2008 lalu pupuk praktis menghilang. Mereka pun akhirnya mengadakan audiensi dengan industri pupuk Indakop, Petrokimia dan Komisi B DPRD Ponorogo. Namun hingga waktu petani membutuhkan pupuk penyediaan pupuk ini tidak terealisasi.
Pencanangan Go-Organic 2010 agar petani lebih mandiri tidak tercermin dari anggaran subsidinya ditahun 2008 yang hanya 474 Milyar untuk pupuk organik dari total subsidi pupuk sesbesr dari 15, 175 Triliun. Padahal salah satu langkah yang terbaik tentu ialah mendukung pengembangan pupuk organik yang dapat dikembangkan sendiri oleh petani. Dukungan pemerintah kearah itu lah yang harus diperbesar. Pengembangan pupuk organik ini selain mengembalikan kesuburan tanah dan membantu meningkatkan produktivitas juga akan sangat berperan dalam membangun kedaulatan petani. Petani dapat menghasilkan pupuk yang dibutuhkannya sendiri

D. Beras Surplus Tapi Petani Tetap Miskin
Pada pemerintahan SBY-JK saat ini paling banyak mengeluarkan kebijakan perberasan nasional pasca Orde Baru. Dalam tahun 2008 yang baru lewat ini saja telah dua kali dikeluarkan kebijakan yang mengatur mengenai perberasan nasional, yaitu Inpres No.1/2008 dan disusul Inpres No.8/2008 pada penghujung tahun yang mengatur mengenai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras. Selain juga dikeluarkannya Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) dengan target mencapai swasembada beras kembali.
Tahun 2008 ini pemerintah menyatakan bahwa Indonesia kembali berhasil mencapai swasembada beras kembali setelah 24 tahun. Tahun 2008 menurut angka ramalan BPS terjadi peningkatan produksi 3 juta ton gabah. Suatu jumlah yang sangat fantastis sejak 24 tahun yang lalu, terlepas dari perdebatan data terkait surplus beras tersebut.
Sekarang ini peningkatan produksi beras tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani. Menurut survei Litbang Departemen Pertanian terakhir (2006), pendapatan per kapita per hari petani padi Rp 3.065-8.466 (kurang dari US$ 1). Ini juga bukan hal baru. Survei Patanas tahun 2000 sudah menggambarkan betapa ekonomi petani padi berada di bibir jurang: lebih dari 80 persen pendapatan rumah tangga tani disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti mengojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Secara evolutif, sumbangan usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga merosot: dari 36,2 persen pada 1980-an, tinggal 13,6 persen.
Sesuai dengan kajian dari SPI terhadap angotanya petani di P. Jawa pada tahun 2007. Bahwa
dengan sewa lahan 1 ha sawah padi pendapatan anggota SPI Rp. 17.500 per hari/RTP atau Rp 4.300 per kapita/hari dengan asumsi empat orang satu keluarga. SPI menilai keadaan ini tidak banyak berubah dari tahun sebelumnya. Betapa miskinnya petani bila mengacu pada kriteria kemiskinan Bank Dunia yaitu pendapatan per kapita kurang dari US$ 2/hari.
Mengapa ini terjadi? SPI berpandangan program peningkatan produksi beras nasional yang didorong melalui intensifikasi pertanian sudah salah arah. Tak ubahnya strategi Revolusi Hijau yang diterapkan pada era Orde Baru yang justru telah menyebabkan ketergantungan atas input, terpeliharanya ketimpangan agraria, dan terjadinya krisis lingkungan hidup karena pemakaian bahan-bahan kimia (lihat pada dokumen ini tentang kebijakan pembaruan agraria dan pupuk).
Sementara itu insentif pemerintah melalui kebijakan perberasan tidak maksimal. Kalah oleh harga dipasaran, inflasi dan kenaikan BBM. Kebijakan HPP hanya mengikuti trend inflasi tiap tahunnya, tidak begitu berpengaruh secara signifikan atas pendapatan petani.
Berikut analisis SPI, pada saat Presiden mengeluarkan Inpres No.1/2008 bulan April 2008 SPI telah menyatakan bahwa HPP yang ditetapkan pemerintah tidak cukup untuk menutupi biaya produksi petani7. Walaupun peningkatan HPP sebesar 10 persen untuk GKP; 9,2 persen untuk GKG dipenggilingan dan 7,5 persen untuk beras sementara laju inflasi pada saat itu sudah 6,59 persen. Nyatanya HPP ini makin ketinggalan jauh dibelakang ketika Mei 2008 harga BBM naik rata-rata sebesar 28,7 persen. sontak semua kebutuhan hidup dari primer hingga skunder naik.
Akhir 2008, walau pemerintah telah 2 kali menurunkan harga BBM namun dengan laju inflasi nasional sebesar 11,68 persen, dan harga-harga barang lain relative tetap peningkatan HPP yang ditetapkan di penghujung Desember 2008 tersebut tidak lah berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan petani. Karena di bulan Desember 2008, saja rata-rata harga beras di pasaran untuk IR 64-III sudah mencapai Rp. 4.600/kg melampaui Rp. 600/kg dibanding kebijakan HPP yang akan berlaku pada 1 Januari 2009. menurut hitungan SPI seharusnya HPP GKP saat ini adalah sudah mencapai Rp. 3.700/kg di sawah.
Mari kita lihat kebijakan ekspor-impor pada beras. Ketika harga beras di level internasional rendah misalnya pemerintah terus mendorong ke arah impor beras. Namun ketika harga beras internasional meningkat wacana ekspor beras gencar didengungkan. Misalnya pada tahun 2006, ketika harga beras dalam negeri mencapai rata-rata Rp. 4.300/kg, sementara di pasar Internasional FOB US$ 302 (sekitar Rp. 2.700/kg dengan US$ 1= Rp. 9.000) maka pemerintah memutuskan untuk impot beras lihat tabel dibawah.
Jumlah impor tahun 1998-2008 (ton)
Tahun Volume impor dari BPS Volume impor daari TRR
1998 n/a 6,077,000
1999 n/a 4,183,000
2000 n/a 1,512,000
2001 644,733 1,384,000
2002 1,805,380 3,707,000
2003 1,428,506 2,750,000
2004 236,867 632,000
2005 189,617 304,000
2006 210,000 840,000
2007 1,500,000 n/a
2008** 0 0

Ketika Harga beras di pasar internasional tahun 2008 ini berfluktuasi cukup tinggi dengan harga terendah 385 US$ per ton (Rp 4235 per kg) dan harga tertinggi 962,60 US$ per ton (Rp 10.582 per kg) pada bulan Mei, walau di penghujung tahun 2008 harga nya kembali turun ke 500 US$ per ton (Rp 5500 per kg). Yang pada saat yang sama rata-rata harga beras dalam negeri sebesar Rp. 4.500/kg maka wacana ekpor beras dikembangkan. Padahal mengacu pada harga internasional tersebut secara nyata petani menyubsidi harga beras kepada publik tanpa pamrih.

E. Peran BULOG
Badan Urusan Logistik (BULOG) telah berulang kali mengalami perombakan dalam sistem kerja. Perubahan-perubahan terus berlanjut dianggap sebagai langkah untuk menemukan bentuk yang paling tepat untuk menjamin ketersediaan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia, disamping menjamin tercapainya keseimbangan harga antara produsen atau petani padi, dengan konsumen. Awal bulan September 2007 SK Menteri Koordinator Perekonomian
pemerintah memberikan kuasa penuh, tidak perlu lagi menunggu persetujuan pemerintah, bagi BULOG untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan persediaan beras dalam negeri. Kewenangan baru yang diberikan kepada BULOG meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa perlu menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah (HPP), dan menjaga persediaan minimum beras nasional. Di satu sisi langkah ini bisa dilihat sebagai langkah upaya baru, dimana kewenangan monopoli impor beras dikembalikan kepada BULOG sebagai lembaga negara. Hal ini penting agar sistem perdagangan, khususnya dalam konteks ekspor impor bahan pangan pokok tidak dikendalikan oleh pihak swasta dan menjadi lahan bagi spekulan. Secara keseluruhan keputusan yang baru ini nampaknya dikeluarkan dalam usaha mengembalikan Public Service
Obligation (PSO) dari BULOG. Hal tersebut bagi SPI akan sulit tercapai karena sampai saat ini PP RI No.7/2003 yang mengatur perubahan BULOG dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) belum dicabut. Bulog juga terikat aturan pasar karena perannya tidak hanya sebagai public service obligation (PSO) lagi, melainkan sudah mencari profit. Adalah rasional jika dalam keadaan demikian Bulog lebih berorientasi impor dalam keadaan kekurangan stok dan kenaikan harga. Misalnya Ketika harga jual petani lebih tinggi dari harga beras impor BULOG tentu akan memilih untuk membeli beras impor, ditambah dengan kebebasannya saat ini untuk tidak perlu berkonsultasi dengan pemerintah terlebih dahulu untuk mengimpor beras. Pengalaman selama ini membeli dengan harga HPP saja yang bagi para petani seringkali tidak dapat menutupi biaya produksi- BULOG kerap enggan dan memilih untuk membeli beras impor yang lebih murah. Dan sebaliknya. Tidak bisa ditampik bahwa peran Bank Dunia, IMF dan WTO juga berpengaruh langsung terhadap kebijakan beras di Indonesia—terutama menyangkut masalah rantai perdagangan. IMF menghapus peran PSO Bulog melalui LoI 1998, sehingga monopoli Bulog dalam pengaturan stok dan harga beras dikebiri.

F. Kedelai, Terperosok Pada Lubang Yang Sama
Awal tahun 2008 ditandainya dengan krisis harga pangan yang terjadi di dunia termasuk di Indonesia. Seperti kenaikan harga kedelai yang mencapai 100 persen lebih, yang dimulai sejak pertengahan tahun 2007 yang terus merangkak naik sampai pada awal tahun 2008. Yakni kurang lebih dari Rp. 3.450/kg menjadi Rp. 7.500/kg. Krisis ini disebabkan berbagai faktor mulai dari isu bahan bakar nabati, liberalisasi perdagangan yang dimotori oleh WTO, dan merebaknya spekulasi. Respons pemerintah adalah dengan menurunkan bea masuk impor kedelai dari 10 persen menjadi nol persen. kemudian pada sisi produksi, menargetkan pencapaian produksi sebanyak 750 ribu ton dengan asumsi lahan yang ditanami 600 ribu ha yang disertai dengan kebijakan subsidi benih kedelai sebanyak 5.500 ton. Hal tersebut sebenarnya tidak menyentuh persoalan utama dari anjloknya produksi kedelai di Indonesia, yaitu diantaranya gagal panen, menciutnya lahan tanaman pangan, dan bencana alam, keengganan petani menanam kedelai. Namun yang paling vital adalah dikarenakan kebijakan yang keliru. Mengapa petani enggan? Inilah beberapa hal yang perlu dicatat, bahwa pada tahun 1990- an harga kedelai pernah mencapai Rp. 8.000/kg sehingga petani bergairah mengembangkan komoditas tersebut yang menyebabkan produksi nasional mencapai 1,6 juta ton. Namun sejak Indonesia masuk dalam kerangka liberalisasi dan setelah masuknya kedelai impor yang harganya lebih rendah dari kedelai lokal maka produksi dalam negeri terpinggirkan yang akhirnya petani enggan menanam karena harganya kalah bersaing. Murahnya harga kedelai impor tersebut, khususnya dari AS, karena mendapatkan subsidi ekspor dari pemerintah setempat seperti GSM 102 dan 103 serta PL 4808. Tahun 2005 harga kedelai impor Rp 2.800, sedangkan harga kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, tahun 2006 harga kedelai impor Rp2.600 sedangkan kedelai lokal Rp3.500 per kilogram, dan pada 2007 harga kedelai impor Rp3.200 sedangkan kedelai lokal Rp3.400 per kilogram. Akibat persaingan yang tidak sehat itulah kemudian tiap tahunnya impor semakin banyak dan produksi nasional serta luasan lahan panen kedelai semakin menciut.9 Indonesia tergantung impor kedelai tiap tahunnya sekitar 65 persen dari kebutuhan nasional. Belum lagi persoalan “kartel” dan spekulasi perdagangan kedelai impor10. Kemudian juga ada konsep “Soybean Estate” yang merupakan suatu kawasan perkebunan kedelai yang direncanakan mencapai 400 ribu ha. Hingga saat ini tidak ada laporan resmi pemerintah atas program ini. Lagipula menurut SPI dengan konsep ini pemerintah masih dalam kerangka mode produksi yang padat
modal, monokultur dan masif yang tentu diserahkan kepada sektor private. Padahal keberhasilan pemenuhan pangan selama ini ada karena ditompang oleh keluarga petani yang padat karya dan ramah lingkungan.

G. Hak Asasi Petani, Pelanggaran Tiada Henti
Banyak pelanggaran Hak Asasi Petani yang harus dihadapi petani dan keluarganya tanpa ada tanggung jawab (state responsibility) dari pemerintah selaku pemegang kewajiban (state obligation). Intinya adalah suatu kewajiban negara untuk menghormati, memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negaranya sesuai UUD 1945 yang secara tersurat pada pasal 28. Hak tersebut baik sosial politik maupun Ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional terkait hak-hak tersebut yang dtuangkan dalam undang-undang13.
Pelanggaran Terhadap Hak Atas Sumber-Sumber Agraria
1. Tanah
Selama tahun 2008 terdapat 63 kasus konflik agraria terjadi, bahkan sebagian besar masih merupakan kasus lama. Lebih dari 49. 000 hektar lahan rakyat dirampas. Lebih dari 312 petani tercatat dikriminalisasi dengan ditangkap dan dijadikan tersangka, hampir semua petani yang ditangkap mengalami tindak kekerasan. Belum lagi lebih dari 31.267 KK petani yang tergusur dari tanahnya dan mengalami pelanggaran kesulitan hidup. Terdapat 7 orang meninggal. Data ini semua hanyalah data dari anggota SPI dan jaringan serta yang berhasil dikumpulkan, lebih dari itu banyak konflik dan korban yang masih tertutup informasinya dari publik.
Tabel konflik agraria tahun 2007-2008
Tahun Kasus Luasan lahan Kriminalisasi petani Tergusur Tewas
2007 76 kali 196.179 166 orang 24.257 KK 8 orang
2008 63 kali 49. 000 ha* 312 orang 31.267 KK 6 orang**

2. Air
► Irigasi, Semakin banyak yang rusak, data dari BPN menyebutkanbahwa lebih dari 50.000 ha sawah irigasi teknis telah menjadi lahan nonpertanian. Bila diasumsikan yang sudah dikonversi tersebut bisa ditanami dua kali setahun dengan produksi 5 ton/ha maka kehilangan pendapatan petani mencapai 1.120 triliun (setara dengan 500.000 ton GKP seharga Rp. 2.240/kg)
► Privatisasi air menyebabkan lebih dari 9.000 KK di Serang (juga terdapat anggota SPI) terancam kekurangan air baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk lahan sawah akibat dari pembangunan pembangunan pabrik air Danone seluas 100 hektar sawah yang subur di Padaricang untuk kemudian dikonversi menjadi sumur arthesis penghasil air. (akibat protes petani, maka kegiatan penyedotan air dihentikan pada September 2008)
3. Benih
► Seperti laporan SPI cabang Ponorogo, Subsidi benih kedelai yang bermutu jelek dan harga yang di mark up. Dimana harga benih dipasaran pada awal tahun 2008 sekitar Rp. 7.000-an dijual kepada petani seharga Rp. 11.000,-
► Perlindungan terhadap petani dengan program benih super toy. Seperti yang dialami petani di Purwerejo, petani mengalamui kegagalan panen. Yang ternyata benih dari investor PT. Sarana Harapan Indopangan, tersebut tidak sesuai dengan standar yang diatur dalam undang-undang perbenihan.

Pelanggaran Atas Kehidupan Yang Layak
● Di Palembang sejak Januari-Juli 2008, ada 15 anak balita gizi buruk dirawat di rumah sakit itu, dua anak di antaranya meninggal dunia.
● Di Makasar hanya berselang tiga pekan, dua orang lagi bayi di Makassar, Sulawesi Selatan, meninggal dunia karena gizi buruk. Nurul Hidayat (13 bulan) meninggal di RSUD Labuang Baji, Makassar, Senin (1/12). Awal November lalu, di kota ini, seorang anak berusia 23 bulan, Dea Adelia, juga meninggal karena gizi buruk.
● Sejak awal Januari sampai 13 Juni 2008 tercatat 23 anak balita di Nusa Tenggara Timur meninggal karena gizi buruk. Sejauh ini, ada 12.818 anak balita mengalami gizi buruk dan 72.067 anak balita lain menderita gizi kurang. Khusus di Rote Ndao dan Kab. Sikka yang di kunjungi oleh SPI sebagian besar korban adalah keluarga petani.
Berikut di sampaikan kesimpulan pandangan SPI terhadap keadaan dan kebijakan Pertanian pada tahun 2008 dan prediksi pada tahun 2009.
1. Selama kurun waktu 2008, janji pemerintahan SBY-JK yang terus diulang-ulang mengenai pembaruan agraria tidak akan berubah pada tahun 2009 ini. Indikasinya adalah pertama, jalan yang ditempuh untuk realisasi pembaruan agraria adalah salah arah, yakni sebatas administrasi pertanahan. Berupa sertipikasi, yang barang tentu tidak akan mengubah ketimpangan struktur agraria/tanah. Kedua, RPP tentang refroma agraria sebagai jalan legal yang menterjemahkan UUPA 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria hingga detik ini tidak diterbitkan. Ketiga, meningkatnya petani korban yang tergusur dan yang dikriminalisasi dalm konflik agraria. Di sisi lain penyelesaian konflik agraria tidak berjalan. Keempat, terkait subyek dan objek penerima manfaat pembaruan agraria yang tidak jelas.
2. Sebagian besar benih untuk tanaman pangan dikontrol oleh perusahaan multinasional, seperti jagung hibrida yang mencapai 43 persen dipasok oleh syngenta dan Bayern Corp. Belum lagi anak-anak perusahaan MNC yang berlabel lokal namun semua administrasi keuangannya lari ke luar negeri. Untuk kasus padi seperti super toy merupakan pukulan telak bagi pertanian Indonesia. Untuk mengejar keuntungan petani diiming-imingi hasil yang tinggi sehingga terbuai menggunakan benih hibrida. Di Karawang, Subang dan Cirebon dilaporkan petani anggota SPI yang terjerat utang karena memilih mode produksi pertanian seperti ini. Dari studi SPI, tercatat ratarata 45, 4 persen modal petani terutama komoditas padi dihabiskan untuk membeli input luar yang mahal, termasuk benih, pupuk, dan racun. Pada tahun 2009 ini, petani akan masih tergantung pada benih impor. Karena arah subsidi perbenihan Indonesia sebagian besar memberikan insentif petani berupa bantuan benih secara fisik kepada petani, seperti kedelai, padi, bawang merah dan jagung. Dukungan bagi pengembangan benih pangan berbasis komunitas tidak dijadikan sebagai salah satu cara memandirikan petani. Padahal Indonesia hampir di setiap propinsi memilki universitas-universitas yang mumpuni untuk mendorong penelitian-penelitian yang dilakukan oleh petani. Pengulangan kelangkaan benih ketika musim tanam menjadi rutinitas 2009 ini nantinya.
3. Kelangkaan pupuk ketika musim tanam pada tahun 2008 terus terjadi, padahal anggaran pupuk bersubsidi telah dinaikkan hampir 100 persen menjadi Rp. 15,175 triliun bahkan menjadi 16,458 triuliun pada APBN 2009. Dengan model subsidi industri pupuk akan dipertahankan pada tahun 2009 ini, maka kelangkaan pupuk tak akan dielakkan lagi. Pemerintah dapat menghentikan ketergantungan petani terhadap pihak lain menyangkut soal pupuk, termasuk juga sarana produksi pertanian lainnya, manakala rezim sistem produksi pangan revolusi hijau bisa dihentikan dan digantikan oleh sistem produksi pangan berkelanjutan (suistainable agriculture), yang dilaksanakan dalam bingkai pembaruan agraria. SPI menilai program Go-Organic 2010 hanya akan menjadi slogan saja, pencapaiannya nol. Hal ini tercermin dari anggaran yang disediakan hanya kurang dari 4 persen dari total subsidi pupuk, 96 persen dialokasi bagi pupuk yang diproduksi industri kimia. Kemudian kelembagaan distribusi pupuk bersubsidi masih dipertahankan dengan model pengusaha sebagai ujung tombak dimana keterlibatan ormas tani dan kelembagaan pemerintah yang minim. Cara memperlakukan pupuk subsidi sebagai barang dagangan akan mempersulit distribusi pupuk, pengusaha akan mencari laba sebesarnya. Dengan pengalihan subsidi pupuk menjadi organik memberikan keuntungan Pertama, petani dapat memberi pupuk pada tanamannya tepat waktu atau tidak lagi mengalami kerugian akibat pemupukan yang melewati umur tanaman. Kedua, tidak lagi terjadi arus kas keluar dari keluarga petani dan desa ke pabrik dan wilayah kota untuk membeli pupuk. Arus kas petani yang biasanya keluar selanjutnya bisa menjadi tabungan. Ketiga, kegiatan perekonomian pedesaan akan kembali bergairah, karena produksi pupuk organik relatif padat karya sehingga dapat membuka lapangan kerja baru. Keempat, sistem peternakan kecil yang selama ini tergantikan oleh peternakan skala industri bisa kembali hidup, karena produksi pupuk memerlukan kotoran ternak. Dalam hal ini, peningkatan pemenuhan protein di pedesaan sekaligus dapat dicapai. Juga sebagai upaya membalikkan situasi bahwa Indonesia adalah pengimpor impor ternak sapi 600.000 ekor/tahun. Kelima, pemerintah dapat mengurangi bahkan tidak perlu lagi untuk mengalokasikan anggaran untuk memberikan subsidi pembelian gas alam dan perawatan pabrik pupuk. Tetapi menggantikannya menjadi insentif buat petani untuk memproduksi pupuk organik termasuk membuat pelatihan. Keenam, pemakaian pupuk organik secara bertahap akan dapat mengembalikan kesuburan lahan pertanian yang selama ini banyak dibuktikan telah miskin unsur hara. Kembali suburnya lahan pertanian ini tentunya sangat penting karena merupakan salah satu syarat dalam menjamin kecukupan pangan.Ketujuh, pangan hasil pertanian organik adalah jenis pangan berkelas premium, karena bebas pestisida dan pupuk kimia. Perubahan konsumsi pangan konvensional ke pangan organik akan berdampak pada peningkatan tingkat kesehatan.
4. Pemerintah meng-klaim bahwa pada tahun 2008 telah surplus beras mencapai 3 juta ton. Padahal tahun 2007 sebelumnya impor sebanyak 1,5 juta ton. Terlepas dari perdebatan data terkait surplus beras, SPI menilai bahwa tiadanya perubahan pada model pertanian padi yang didorong oleh pemerintah SBY-JK, yakni model revolusi hijau. Petani tetap menjadi objek program pemerintah. Surplus tapi tetap miskin. Bila tahun 2009 ini model seperti ini dipertahankan maka biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah akan sangat besar sekali karena terkait subsidi input pertanian yang luar biasa. Kemampuan mempertahankan produksi beras meragukan ditahun 2009. Ketergantungan petani terus terpelihara, akibatnya kreatifitas dan kemandirian petani sulit bangkit. Pemerintah hingga hari ini masih menetapkan kebijakan pertanian berdasarkan logika ekonomi semata, hendaknya pemerintah juga melakukan pendekatan sosial dan kedaulatan bangsa. Mengingat jumlah penduduk yang mencapai 200 juta lebih sangat berbahaya bila tergantung makanannya dengan pasar internasional. Sungguh malang tiap tahun kita masuk ke lubang kesalahan yang sama . Pada kasus beras terbukti bahwa perdagangan pangan harus ada peran negara yang sangat besar. Hal ini dilihat relatif stabilnya harga beras di pasaran dalam negeri. Lain halnya ketika kontrol pemerintah yang lemah pada produk CPO dan kedelai, yang menyebabkan kenaikan luar biasa pada minyak goreng dan harga kedelai terus keolahannya. Jadi jangan serahkan petani dan perdagangan pangan ke pasar. Inilah mandat sesungguhnya dari konstitusi kita pasal 28 dan 33 UUD 1945.
5. Demikian daging sapi dan susu. Strategi pemerintah tetap sama, mengimpor karena harga lebih murah. Sebaliknya daya dorong bangkitnya peternak 18 pedaging dan susu sapi dalam negeri lemah. Peternak harus berhadapan langsung dengan pasar internasional yang begitu liberal dan kuat. Kebijakan pangan atau pertanian nasional yang dikeluarkan pemerintah umumnya merupakan kebijakan yang bersifat spasial dan tidak secara utuh menjawab permasalahan pokok petani yaitu akses dan kontrol terhadap sumber pertanian dari hulu hingga hilir. Petani senantiasa menjadi objek penderita semata dan bukannya subjek dari kebijakan tersebut.
6. Pengembangan perkebunan dengan orientasi ekspor dan ketergantungan yang sangat besar pada pasar internasional membuat petani sawit bahkan perusahaan sawit akan terus fluktuasi harga. Petani sawit hanya akan terus menjadi buruh penghasil bahan mentah yang tidak memiliki kepastian. Ketika harga CPO meningkat petani diiming-imingi keuntungan besar untuk menanam sawit bagi industri walau keuntungan yang diterima lebih banyak diserap oleh perusahaan sawit. Kemudian saat harga jatuh petanilah yang paling pertama ditekan agar industri tidak terlalu merugi, petani selalu menjadi obyek. Jika tahun 2009 tidak adanya pengembangan industri hilir yang dikelola oleh negara dan menempatkan posisi petani sebagai subjek maka petani sawit hanya akan terus menjadi buruh di tanahnya sendiri. Dan harga turunan produk sawit yang diproduksi oleh perusahaan akan terus memenuhi pasar LN daripada dalam negeri. Perluasan perkebunan sawit yang telah merusak dan merampas sumber alam yang secara turun temurun dikelola keluarga tani membuat petani tidak memiliki pilihan dan terseret kedalam rantai industri perkebunan sawit. Jika pemberian ijin perluasan perkebunan tidak segera dihentikan maka lahan-lahan pertanian yang subur akan menghilang menjadi gurun hijau. Bukan hanya petani namun rakyat secara keseluruhan akan kesulitan memperoleh pangan jika hal ini dibiarkan. Tahun 2009 mendatang konflik diperkebunan sawit terus akan terjadi, mengingat tahun 2008 belum ada penyelesaian konflik yang signifikan disektor perkebunan.
7. Praktek-praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi seperti anjuran IMF, Bank Dunia dan WTO telah merusak pasar nasional dan melemahkan BULOG. Harusnya BULOG bisa lebih aktif menjalankan fungsi Public Service Obligation bukan menjadi lembaga pencari laba. Artinya BULOG harus menjadi lembaga penyangga pangan yang memiliki kewenangan dan fungsi pelayanan publik.
8. Kepercayaan pemerintahan SBY-JK kepada perusahaan-perusahaan dibidang pertanian membuat kemiskinan petani terus terpelihara. Padahal petani, buruh tani dan petani kecillah yang telah menyelamatkan Indonesia dari krisis harga pangan dan kelaparan selama ini. Sebut saja mislanya kasus melonjaknya harga CPO dipasar Internasional yang menyebabkan langka dan mahalnya minyak goreng dalam negeri, kedelai yang tergantung impor, daging sapi, benih, gandum yang secara keekonomian dikontrol oleh investor. Sementara itu beras, hasil sayuran, bawang merah, dan produk pertanian rakyat lainnya tetap stabil. Walau harga internasional telah melampaui harga dalam negeri, namun petani tetap mendapatkan harga yang terus dikontrol pemerintah tanpa protes. Lain halnya ketika pemerintah mengontrol produk yang dikuasai oleh pengusaha, pemerintah kehilangan kuasanya untuk melayani rakyat. Dengan alasan terikat dengan perjanjian perdagangan internasional, rakyat diserahkan kepada mekanisme pasar. Sudah seharusnya dalam 2009 ini pemerintah mendorong agar petani kecil, buruh tani menjadi prioritas dalam pembangunan pedesaan dan pertanian.
9. Konflik agraria akan terus terjadi selama pembaruan agraria yang berpihak kepada rakyat tidak dilaksanakan. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Indonesia setidaknya ada 2.810 konflik agraria. Sementara itu, sepanjang awal tahun 2007 sampai akhir tahun 2008 SPI mencatat 139 konflik, yang menyebabkan 14 orang tewas, 55.524 KK tergusur, dan 478 orang ditangkap, dipenjara dan dikriminalisasikan. Konflik agraria akan terus terjadi karena ketimpangan agraria hanya diselesaikan dengan sertipikasi lahan bukan penyelesaian struktural. Seharusnya dilakukan penghentian dan pencegahan perluasan kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber agraria yang melampaui batas dan segera dilaksanakan landreform. SPI menilai apabila pembaruan agraria seperti yang dimandatkan UUPA 1960 tidak dijalankan maka Indonesia akan terus dibayangi oleh kelaparan, konflik agraria, rusaknya infrastruktur pedesaan, impor pangan, urbanisasi tak terkendali.